Penulis: Asrinaldi
Sumber Tulisan: Padang Ekspres
Pilkada serentak gelombang kedua sudah usai dilaksanakan yang
ditandai dengan pencoblosan Rabu (15/2). Di Sumbar, pelaksanaan pilkada
serentak kali ini hanya diikuti oleh kabupaten Kepulauan Mentawai dan
Kota Payakumbuh. Kedua daerah ini memilih bupati dan wali kota untuk
periode 2017-2022. Banyak pihak menilai pilkada yang dilaksanakan
tersebut menjadi salah satu indikator bagaimana sesungguhnya demokrasi
lokal itu dilaksanakan. Tentu berbagai dinamika ikut menyertai
pelaksanaan pilkada tersebut. Apakah sudah dilaksanakan sesuai dengan
aturan perundang-undangan atau tidak, inilah bagian dari realita
politik.
Tahun depan, pilkada serentak gelombang ketiga juga akan
dilaksanakan. Sesuai dengan ketentuannya, pilkada serentak ini akan
dilaksanakan pada bulan Juni 2018. Namun demikian, biasanya setahun
sebelum pelaksanaannya, KPU Daerah sudah mulai mempersiapkan tahapan
yang akan dilaksanakan. Ada empat kota di Provinsi Sumatera Barat yang
akan melaksanakan pilkada serentak gelombang ketiga ini, yaitu Kota
Padang, Kota Pariaman, Kota Padangpanjang dan Kota Swahlunto. Namun yang
diprediksi akan menarik diperbincangkan dan mendapat perhatian publik
adalah Pilkada Kota Padang. Mengapa? Sama halnya dengan DKI Jakarta yang
menjadi barometer politik di Indonesia, maka Kota Padang juga menjadi
barometer politik Sumatera Barat.
Menyiapkan Pemimpin Kota
Tidak dapat dinafikan, semua pihak memang sudah mulai menjaring
nama-nama calon wali kota dan wakil walikota Padang meskipun dilakukan
secara diam-diam. Memang, tidak mudah menyaingi “keberhasilan” yang
sudah dicapai oleh pasangan Wali Kota dan Wakil Walikota sekarang,
Mahyeldi dan Emzalmi. Apalagi kedua pasangan petahana tersebut
diprediksi akan mencalonkan diri kembali sebagai pemimpin kota ini ke
depan. Tentu segala kalkulasi dan analisis harus dilakukan agar calon
pemimpin yang akan bertanding dalam pilkada serentak dapat menandingi
ketokohan calon petahana ini.
Begitu juga bagi partai politik, pilkada ini tentu tidak hanya
sekadar mencalonkan wali kota dan wakil walikota yang diusungnya. Akan
tetapi, menjadi ajang pemanasan dalam menggerakkan mesin politiknya
menjelang pelaksanaan Pemilu legislatif dan presiden pada tahun 2019.
Paling tidak, dengan cara itu, partai politik dapat mengetahui sejauh
mana strategi yang dilakukan dalam pilkada itu mendapat respons positif
dari warga Kota Padang. Dengan kata lain, keterlibatan partai ini dapat
memetakan bagaimana perilaku memilih masyarakat Kota Padang menjelang
pelaksanaan pilkada serentak tersebut.
Memang belum banyak nama yang menjadi perbincangan publik untuk
menyaingi kepopuleran Mahyeldi dan Emzalmi. Fenomena ini tentu tidak
berarti bahwa tokoh masyarakat, baik di Sumbar maupun di rantau, tidak
bisa mencalonkan dirinya dalam pilkada mendatang. Apalagi santer
terdengar kabar bahwa kepemimpinan Mahyeldi dan Emzalmi ini akan
berpisah dalam pilkada serentak tahun 2018 mendatang. Artinya,
masing-masing calon petahana ini akan maju sebagai wali kota dan
berusaha mencari wakil untuk mendampingi mereka. Kesempatan inilah yang
perlu juga disikapi oleh mereka yang memang berniat maju sebagai calon
pemimpin kota ini.
Bagi mereka yang merasa punya kekuatan politik riil untuk siap
bertanding dengan calon petahana tentu dianjurkan untuk menjadi calon
wali kota, tanpa harus memosisikan diri sebagai wakil walikota
mendampingi calon petahana. Oleh karenanya, idealnya jauh-jauh hari
mereka yang memang berminat menjadi penantang calon petahana ini sudah
melakukan kajian dan pemetaan terkait dengan peluang untuk memenangkan
pilkada tersebut. Melalui kajian dan pemetaan ini juga akan diketahui
seberapa kuat sebenarnya calon petahana ini untuk disaingi. Tentunya,
tanpa kajian dan pemetaan ini sangatlah berisiko bagi calon pesaing
untuk kalah dengan mengorbankan biaya, tenaga dan waktu yang tidak
sedikit.
Kriteria dan Peluang
Dalam sistem demokrasi, semua warga negara memang memiliki hak yang
sama untuk menjadi pejabat publik. Kesempatan yang diberikan dengan
prinsip non dikriminasi oleh negara ini haruslah dimanfaatkan sebaik
mungkin oleh mereka yang memang memiliki keinginan untuk mengurus
masyarakat.
Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, terutama
belajar dari pengalaman Pilkada yang dilaksanakan selama ini. Pertama,
dalam kenyataannya perilaku masyarakat di Indonesia yang masih memilih
berdasarkan prinsip primordialisme seperti suku dan asal daerah.
Artinya, sepanjang bakal calon tidak memiliki ikatan primordialisme ini
dengan warga Kota Padang, tentu peluang keterpilihannya juga akan
berkurang. Bahkan belajar dari Pilkada 2014 yang lalu, pilihan warga
Kota Padang berdasarkan variabel inilah yang menajdi faktor penentu.
Kedua, ketersediaan pembiayaan yang cukup, terutama dalam menggerakan
relawan ketika sudah menjadi calon wali kota atau wakil walikota. Jika
bakal calon tidak memiliki sumber pembiayaan yang cukup, sulit rasanya
untuk bisa bersaing dalam pilkada. Walaupun ada relawan yang bekerja
untuk pasangan calon secara sukarela, tapi dalam beberapa hal mereka
juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk melaksanakan tugasnya
dan membiayai kebutuhannya. Kadang ini yang sulit dipenuhi oleh pasangan
calon karena terbatasnya logistik yang dimiliki. Akibatnya relawan
tersebut tidak lagi bekerja sebelum hari pemilihan tiba. Fakta ini
sering ditemukan sehingga perjuangan seorang calon kepala daerah akan
terhenti di tengah sebelum sampai pada babak akhir sehingga mereka sudah
terlihat kalah sebelum hari pemilihan.
Ketiga, jaringan sosial, ekonomi dan politik dengan tokoh yang
dimiliki bakal calon kepala daerah. Kepemilikan terhadap jaringan
sosial, ekonomi dan politik ini secara tidak langsung dapat membantu
mengukuhkan perjuangan menjadi kepala daerah. Sebab ada masanya,
motivasi dan energi calon kepala daerah ini terkuras sedemikian rupa
sehingga membutuhkan dorongan dan suntikan semangat baru dari tokoh ini
agar atmosfir kemenangan muncul kembali. Sering ditemukan, jarang sekali
calon kepala daerah yang tidak memiliki jaringan ini menang dalam
Pilkada.
Oleh karenanya, bagi bakal calon yang tidak memiliki variabel
tersebut, mestinya berpikir dua kali untuk mengajukan diri sebagai calon
walikota Padang. Pasalnya, yang akan dihadapi itu adalah calon petahana
yang menurut penilaian sebagian masyarakat dianggap “sudah berhasil”
mengubah wajah Kota Padang menjadi lebih baik. (*)
No comments:
Post a Comment