loading...

Sunday, May 21, 2017

Mempersiapkan Calon Wako Padang

Penulis: Asrinaldi
Sumber Tulisan: Padang Ekspres

Pilkada serentak gelombang kedua sudah usai dilaksanakan yang ditandai dengan pencoblosan Rabu (15/2). Di Sumbar, pelaksanaan pilkada serentak kali ini hanya diikuti oleh kabupaten Kepulauan Mentawai dan Kota Payakumbuh. Kedua daerah ini memilih bupati dan wali kota untuk periode 2017-2022. Banyak pihak menilai pilkada yang dilaksanakan tersebut menjadi salah satu indikator bagaimana sesungguhnya demokrasi lokal itu dilaksanakan. Tentu berbagai dinamika ikut menyertai pelaksanaan pilkada tersebut. Apakah sudah dilaksanakan sesuai dengan aturan perundang-undangan atau tidak, inilah bagian dari realita politik.

Tahun depan, pilkada serentak gelombang ketiga juga akan dilaksanakan. Sesuai dengan ketentuannya, pilkada serentak ini akan dilaksanakan pada bulan Juni 2018. Namun demikian, biasanya setahun sebelum pelaksanaannya, KPU Daerah sudah mulai mempersiapkan tahapan yang akan dilaksanakan. Ada empat kota di Provinsi Sumatera Barat yang akan melaksanakan pilkada serentak gelombang ketiga ini, yaitu Kota Padang, Kota Pariaman, Kota Padangpanjang dan Kota Swahlunto. Namun yang diprediksi akan menarik diperbincangkan dan mendapat perhatian publik adalah Pilkada Kota Padang. Mengapa? Sama halnya dengan DKI Jakarta yang menjadi barometer politik di Indonesia, maka Kota Padang juga menjadi barometer politik Sumatera Barat.
Menyiapkan Pemimpin Kota

Tidak dapat dinafikan, semua pihak memang sudah mulai menjaring nama-nama calon wali kota dan wakil walikota Padang meskipun dilakukan secara diam-diam. Memang, tidak mudah menyaingi “keberhasilan” yang sudah dicapai oleh pasangan Wali Kota dan Wakil Walikota sekarang, Mahyeldi dan Emzalmi. Apalagi kedua pasangan petahana tersebut diprediksi akan mencalonkan diri kembali sebagai pemimpin kota ini ke depan. Tentu segala kalkulasi dan analisis harus dilakukan agar calon pemimpin yang akan bertanding dalam pilkada serentak dapat menandingi ketokohan calon petahana ini.

Begitu juga bagi partai politik, pilkada ini tentu tidak hanya sekadar mencalonkan wali kota dan wakil walikota yang diusungnya. Akan tetapi, menjadi ajang pemanasan dalam menggerakkan mesin politiknya menjelang pelaksanaan Pemilu legislatif dan presiden pada tahun 2019. Paling tidak, dengan cara itu, partai politik dapat mengetahui sejauh mana strategi yang dilakukan dalam pilkada itu mendapat respons positif dari warga Kota Padang. Dengan kata lain, keterlibatan partai ini dapat memetakan bagaimana perilaku memilih masyarakat Kota Padang menjelang pelaksanaan pilkada serentak tersebut.

Memang belum banyak nama yang menjadi perbincangan publik untuk menyaingi kepopuleran Mahyeldi dan Emzalmi.  Fenomena ini tentu tidak berarti bahwa tokoh masyarakat, baik di Sumbar maupun di rantau, tidak bisa mencalonkan dirinya dalam pilkada mendatang.  Apalagi santer terdengar kabar bahwa kepemimpinan Mahyeldi dan Emzalmi ini akan berpisah dalam pilkada serentak tahun 2018 mendatang. Artinya, masing-masing calon petahana ini akan maju sebagai wali kota dan berusaha mencari wakil untuk mendampingi mereka. Kesempatan inilah yang perlu juga disikapi oleh mereka yang memang berniat maju sebagai calon pemimpin kota ini.

Bagi mereka yang merasa punya kekuatan politik riil untuk siap bertanding dengan calon petahana tentu dianjurkan untuk menjadi calon wali kota, tanpa harus memosisikan diri sebagai wakil walikota mendampingi calon petahana. Oleh karenanya, idealnya jauh-jauh hari mereka yang memang berminat menjadi penantang calon petahana ini sudah melakukan kajian dan pemetaan terkait dengan peluang untuk memenangkan pilkada tersebut. Melalui kajian dan pemetaan ini juga akan diketahui seberapa kuat sebenarnya calon petahana ini untuk disaingi. Tentunya, tanpa kajian dan pemetaan ini sangatlah berisiko bagi calon pesaing untuk kalah dengan mengorbankan biaya, tenaga dan waktu yang tidak sedikit.

Kriteria dan Peluang
Dalam sistem demokrasi, semua warga negara memang memiliki hak yang sama untuk menjadi pejabat publik. Kesempatan yang diberikan dengan prinsip non dikriminasi oleh negara ini haruslah dimanfaatkan sebaik mungkin oleh mereka yang memang memiliki keinginan untuk mengurus masyarakat.
Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, terutama belajar dari pengalaman Pilkada yang dilaksanakan selama ini. Pertama, dalam kenyataannya perilaku masyarakat di Indonesia yang masih memilih berdasarkan prinsip primordialisme seperti suku dan asal daerah. Artinya, sepanjang bakal calon tidak memiliki ikatan primordialisme ini dengan warga Kota Padang, tentu peluang keterpilihannya juga akan berkurang. Bahkan belajar dari Pilkada 2014 yang lalu, pilihan warga Kota Padang berdasarkan variabel inilah yang menajdi faktor penentu.

Kedua, ketersediaan pembiayaan yang cukup, terutama dalam menggerakan relawan ketika sudah menjadi calon wali kota atau wakil walikota. Jika bakal calon tidak memiliki sumber pembiayaan yang cukup, sulit rasanya untuk bisa bersaing dalam pilkada. Walaupun ada relawan yang bekerja untuk pasangan calon secara sukarela, tapi dalam beberapa hal mereka juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk melaksanakan tugasnya dan membiayai kebutuhannya. Kadang ini yang sulit dipenuhi oleh pasangan calon karena terbatasnya logistik yang dimiliki. Akibatnya relawan tersebut tidak lagi bekerja sebelum hari pemilihan tiba. Fakta ini sering ditemukan sehingga perjuangan seorang calon kepala daerah akan terhenti di tengah sebelum sampai pada babak akhir sehingga mereka sudah terlihat kalah sebelum hari pemilihan.

Ketiga, jaringan sosial, ekonomi dan politik dengan tokoh yang dimiliki bakal calon kepala daerah. Kepemilikan terhadap jaringan sosial, ekonomi dan politik ini secara tidak langsung dapat membantu mengukuhkan perjuangan menjadi kepala daerah. Sebab ada masanya, motivasi dan energi calon kepala daerah ini terkuras sedemikian rupa sehingga membutuhkan dorongan dan suntikan semangat baru dari tokoh ini agar atmosfir kemenangan muncul kembali. Sering ditemukan, jarang sekali calon kepala daerah yang tidak memiliki jaringan ini menang dalam Pilkada.

Oleh karenanya, bagi bakal calon yang tidak memiliki variabel tersebut, mestinya berpikir dua kali untuk mengajukan diri sebagai calon walikota Padang. Pasalnya, yang akan dihadapi itu adalah calon petahana yang menurut penilaian sebagian masyarakat dianggap “sudah berhasil” mengubah wajah Kota Padang menjadi lebih baik. (*)

No comments:

Post a Comment